Rabu, 25 September 2013

PERJALANAN KASIH

Pagi itu seperti pagi-pagi biasanya. Setelah adzan shubuh berkumandang, maka beberapa menit kemudian akan berganti hp-ku yang akan berkumandang, yang mengisyaratkan bahwa satu pesan terindah penyambut pagi telah terjun membawa embun kesejukan. Pesan singkat darinya yang mampu memberi kesejukan bak embun pagi. Pesan indah yang akan membuatku enggan untuk menghapusnya. Sebuah pesan yang tak pernah bosan aku membacanya meski dalam sehari kadang pernah sampai kubaca sebanyak tujuh kali.
 “Matahariku, segeralah pancarkan sinarmu, bulan telah kembali ke peraduannya, jangan biarkan bumiku gelap, karena hanya pancaran sinarmulah yang mampu menerangi gelapnya bumiku ini”
Sangat indah. Itulah pujian yang sering keluar dari kedua bibir tipisku. Pesan singkat yang sering membuatku seakan melayang di atas awan dan terbang bersama burung-burung kecil atau bahkan pesan yang sering membutku gila setiap pagi karena senyum-senyum sendiri di depan cermin setiap kali membaca pesan tersebut. Mungkin karena pesan itu dikirim oleh seseorang yang sangat istimewa dihatiku, oleh karenanya meski sebenarnya pesan itu biasa-biasa saja, menjadi luar biasa saat aku yang membacanya.
***
Suasana kampus telah ramai meskipun masih pagi. “Hai……semua, tau enggak, weekend kali ini lumayan panjang lho” Jelas salah satu temanku yang sering aku panggil Mama. “Haa….iya ta Ma?” Jawabku dengan bersemangat memastikan. “Iiihhh Zada semangat banget sih kelihatannya, mau pulang ya” Jawab Mama sambil senyum-senyum tanpa tahu alasannya. “Iya lah Ma,,,,,Zada sudah kangen tuh sama seseorang yang nun jauh disana” Sindir salah satu temanku yang postur tubuhnya seperti model karena dia paling tinggi diantara keenam teman dekatku. Dengan malu-malu akhirnya aku menjawabnya “Iya Ma, sudah beberapa bulan aku tidak bertemu dengannya”. “Kangen yaa,,,,” Rahayu temanku yang paling usil mulai mengeluarkan suara.  “Zada, sebenarnya kamu masih berhubungan dengan Farid nggak sih?” ko’ kita sekarang jarang dengar cerita tentang kalian” Lanjutnya.  Tiba-tiba pertanyaan itu mengingatanku pada kejadian beberapa bulan yang lalu saat aku pulang ke rumah dan seakan berada diruang sidang yang sedang dihakimi oleh Bundaku sendiri mengenai hubunganku dengan ka’ Farid.
“Bunda tidak setuju jika kamu masih berhubungan dengan Farid, Farid itu bukan mahasiswa yang cerdas. Benar dia seorang aktivis tapi dia tidak bisa menyeimbangkan kuliah dan kegiatannya menjadi aktivis, Bunda tidak mau jika anak Bunda terpengaruh dengan perilakunya yang tidak mencerminkan seorang mahasiwa” Itulah kata-kata bunda yang masih bisa kuingat jelas di kepala.
“Ehmmm, jadi Bundamu tidak setuju kalau kamu sama ka’ Farid” sahut Rahayu setelah kuceritakan semua kepada mereka. “Kita sebenarnya saling menyayangi, ka’ Farid pernah berjanji padaku bahwa dia tidak main-main dengan hubungan ini, begitupun dengan aku, aku tidak mau jika hubungan kita hanya sekedar main-main yang tidak jelas jluntrungannya. Beberapa bulan yang lalu pasca kejadian Bunda yang marah-marah karena tahu hubunganku dengan ka’ Farid, sebenarnya ka’ Farid ingin datang ke rumah dan bilang pada Bunda bahwa dia sebenarnya ingin segera melamar anaknya yang sangat dia cintai ini, tapi aku melarangnya dengan alasan, yaaa,,,, kalian tahu sendiri kan bagaimana sikap Bunda jika sudah tidak suka pada seseorang, bisa-bisa ka’ Farid digigit saat dia berani datang ke rumah dan menemuiku” Jelasku panjang lebar kepada mereka. “Terus selama ini kalian tidak pernah ketemuan di rumah?” Tanya Ikha salah satu temanku yang pipinya seringkali ingin kucubit saking tembemnya.  
“Ya kalau kita bertemu pasti di kampusnya Kha”.
“Tapi kan Bundamu juga jadi dosen disana, gimana kalau dia tahu kamu ketemuan sama ka’ Farid disana?”
“Aku selalu pura-pura mau bertemu teman-temanku yang mayoritas melanjutkan kuliah disana. Aku bilang kalau aku kangen sama mereka, aku ingin kesempatan pulangku bisa aku gunakan untuk bertemu dan sekedar bertukar kabar dengan mereka. Saat itu memang Bundaku tidak menaruh curiga sedikitpun padaku, tapi aku tak tahu apa yang akan di perbuat Bunda setelah tahu aku masih berhubungan dengan ka’ Farid, mungkin aku tidak akan diizinkan lagi ikut Bunda ke kampus kerena ka’ Farid juga ada disana”.
“Haduhhhh…..kasihan sekali sih kamu Zada” Respon Mama saat mendengar kisah tragis cintaku.
Baru saja ingin kujelaskan lebih lanjut ceritaku karena dosen tak kunjung juga datang, tiba-tiba handphoneku berbunyi. “Hemmm pasti dari ka’ Farid yaa….” Sindir Rahayu. Tidak salah, panggilan masuk dari ka’ Farid. Segera kuangkat panggilan itu dan terdengar suara di seberang sana “Matahariku tidak ada kuliah? Ko’ tumben bisa angkat panggilan kaka’?” tanyanya mengawali perbincaangan.
“Iya ka’ tidak ada dosen pagi ini, ada apa ka’ pagi-pagi sudah telepon?”
“Ndak, kaka’ cuma mau Tanya, adek ndak pulang ta liburan besok? kaka’ dengar dari Adi temen kaka’ yang kuliah di kampus adek, mulai besok hingga ahad kampus adek libur”
“Iya ka’, Zada pulang ko’. Kenapa? Kangen ya?” jawabku menggodanya
“Ehmmm, begitulah” jawabnya singkat dan terdengar suara tawa diseberang sana
“Iya ka’ doakan saja Zada bisa pulang secepatnya. Mungkin kalau tidak hari ini besok pagi”
“Oke matahariku, selamat beraktivitas, semoga cintamu padaku tak akan pernah layu meski jalan yang harus kita tempuh tak sesejuk embun pagi”
Senyum haru tiba-tiba meliputiku “Iya kaka’, semoga jalan kita segera dipermudah”
“Kaka’ akhiri ya dek, kaka’ tunggu kedatangnnya, selamat pagi”
“Iya ka’ selamat pagi”
Tuttt tuttt tuttt sambungan itu terputus.
“Ya sudah, kita akhiri dulu adja ceritanya, sepertinya ada yang sudah tidak sabar nih  pengen segera pulang” Terang Mama sambil beranjak dari tempat duduknya.
***
Belum sampai aku di kamar tiba-tiba ada pesan masuk dari Bunda, “Zada, Nak, Bunda besok ada acara di luar kota, kampus tempat Bunda ngajar besok libur, kampus Zada libur ndak? Kalau Zada pulang, maaf ya Nak, Bunda tidak bisa menemani, Zada ajak papa saja kalau mau jalan-jalan”. Tak lama kemudian kedua jempolku mulai beraksi “iya Bunda, Zada pulang sore ini”. Pesankupun terkirim. Jawaban pesan muncul beberapa detik kemudian “Oke sayang, Bunda tunggu”
Semua barang yag ingin kubawa pulang segera kukemasi dan kumasukkan ke dalam tas ransel yang selama ini menemaniku disaat perjalanan jauh. Tak lupa kubawa novel-novel terbaru yang belum sempat kuselesaikan membacanya. Namun sering novel-novel tersebut tak mampu kuselesaikan membacanya saat liburan dirumah, karena liburanku dirumah lebih sering kumanfaatkan untuk bertemu dengan ka’ Farid dan diskusi bareng dengannya. Atau terkadang karena ka’ Farid juga memberi novel terbaru yang belum pernah kubaca. Aku dan ka’ Farid mempunyai hoby yang sama, membaca novel dan berdiskusi. Namun aku bukanlah aktivis yang cerdas seperti ka’ Farid. Bunda tak pernah mengizinkanku menjadi aktivis, padahal itu adalah cita-citaku sejak aku dinobatkan menjadi seorang mahasiswa. Aku bisa tahu pengalaman hidup seorang aktivis hanya dari ka’ Farid.
***
Bus yang kutumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Membelah hutan dan gunung-gunung yang tak ramai oleh pengendara karena hari sudah mulai senja. Perjalananku menuju rumah hanya menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam. Sambil melamun di perjalanan, dalam hati ingin sekali aku mempertemukan Ayah dengan ka’ Farid. Karena Bunda besok tidak ada di rumah, sedangkan Ayah pasti juga sedang libur tidak masuk kerja.
Selama perjalanan, aku jarang bermain-main dengan hp sebagaimana penumpang yang lain. Aku lebih suka menikmati pemandangan luar yang begitu indah karena diliputi dengan tumbuhan pinus yang berjajar rapi disepanjang jalan. Dilengkapi dengan aliran sungai-sungai kecil yang begitu jernih airnya.
Terrttt terrrtttt,,,,,,
Tiba-tiba hp-ku bergetar dan ada satu pesan masuk. “Dek, kaka’ besok ingin berkunjung  kerumah adek. Izinkan kaka’ datang kesana ya?” Satu pesan masuk dari ka’ Farid. Kubiarkan kedua jempolku menari diatas keyboard hp untuk menjawab pesan ka’ Farid. “Kaka’ tumben mau main ke rumah? Ada apa ka’? kita tidak ketemu di kampus kaka’ seperti biasa saja ta ka’?”. Tak sampai beberapa menit pesan jawaban dari ka’ Farid masuk “Kaka’ pengen ketemu Bunda dek, kaka’ rasa ini adalah saat yang tepat. Sudah terlalu lama kita menjalani hubungan dengan kondisi seperti ini. Kaka’ tidak pengen jadi pengecut dek, kaka’ ingin menemui kedua orangtua adek dan ingin segera menghalalkan hubungan ini dek”.
Deg, angin apa yang tiba-tiba mendorong ka’ Farid berbicara layaknya seorang raja yang sedang menginginkan permaisuri seperti ini. Seakan-akan ada burung garuda besar yang tiba-tiba menyambarku dan mengajakku terbang bebas ke angkasa luas.
“Ka’ Farid jangan main-main deh, ka’ Farid sedang tidak bercanda kan?”
“Kaka’ serius adek, jam berapa kira-kira kaka’ bisa bertemu orangtua adek?”
Kembali aku mencoba menyadarkan diriku dengan mencubit pipi kananku sambil kujelaskan pada ka’ Farid “Besok Bunda tidak ada dirumah ka’, beliau sedang diluar kota”. “Oke lah, biar ka’ Farid bertemu dengan Ayah saja, meski sebenarnya yang ingin kaka’ temui adalah Bunda, karena beliaulah yang menjadi tantangan terbesar buat kaka’ untuk bisa mendapatkan pujaan hati kaka’” Rasanya kembali burung garuda itu mengebaskan sayap lebarnya dan menempatkan aku di tempat tertinggi. “Iya, kalau memang itu keinginan kaka’, besok kaka’ bisa datang kerumah untuk menemui Ayah”. “Oke adek, ohh ya, sebelumnya kaka’ ingin memastikan sendiri kepada pujaan hati kaka’, kira-kira apakah kaka’ diizinkan menjadi imam untuk adek selamanya?”. Allah…..dalam hatiku bergumam, apa ini jawaban yang Engkau berikan atas do’a-do’aku disetiap malam. Aku yang selalu menunggu kapan kiranya Engkau permudah perjalan kisah ini menuju istana yang lebih mulia.
“Zada percayakan semuanya kepada kaka’, keyakinan Zada kepada kaka’ telah mengakar, Zada tidak bisa menjelaskan panjang lebar di telepon ka’”. “Alhamdulillah, kaka’ akan segera menemui orangtua adek besok, hati-hati diperjalanan, jaga diri baik-baik, sampai bertemu besok, assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam” Jawabku.
Komunikasi melalui pesan itu kami akhiri, sekali lagi kusebut nama Allah, akhirnya keberanian ka’ Farid untuk datang ke orangtua telah lahir.  Dalam hati aku hanya bisa berdo’a, semoga hati Ayah dan Bunda segera bisa luluh dan mengizinkanku menjalin hubungan yang lebih mulia dengan ka’ Farid.
***
Suasana rumah masih tak beda jauh dengan sebelum-sebelumnya. Ayah masih tetap suka membaca Koran hingga larut malam di depan TV dan Bundapun masih selalu asyik dengan persiapan mengajarnya. Sebelum aku menuju kamar tidurku, aku berbisik pada Ayah. “Ayah, besok ada seseorang yang ingin menemui Ayah, Ayah tidak sibuk kan?”. “Siapa?” jawab Ayah dengan suaranya yang lantang membahana. “Ayah jangan keras-keras, nanti terdengar Bunda. Pokoknya besok Ayah temui saja dia ya Yah?” pintaku pada Ayah.  “Tapi Ayah besok harus mengantarkan Bundamu ke bandara Zada”. “Dia besok datang setelah Ayah dari bandara kok” Bujukku. “Ehmmm, okelah, apa sih yang tidak buat Zada” Jawab Ayah. “Terimakasih Ayah” kupeluk Ayah dan aku kembali menuju kamar untuk istirahat.
***
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak. Pikiranku terbawa oleh angan mengenai apa yang bakal terjadi besok setelah Ayah bertemu dengan ka’ Farid. Aku memikirkan apa yang akan dilakukan ka’ Farid jika besok dia bertemu langsung dengan Ayah. Aku memang sudah sering menceritakan hubunganku dengan ka’ Farid kepada Ayah. Aku sering menjelaskan bagaimana pengaruhnya terhadap prestasi dan pengalaman yang bisa aku dapatkan selama aku berhubungan dengan ka’ Farid. Namun sekalipun Ayah belum pernah melihat wajahnya secara langsung meskipun sebenarnya respon Ayah begitu baik terhadap hubunganku dengan ka’ Farid. Aku membayangkan apakah besok ka’ Farid bakal berani meminta pada Ayah untuk meminangku dan membawa hubungan kita menuju ridho-NYA atau bagaimana. Ah, entahlah. Namun yang pasti, malam ini tiba-tiba aku ingin bermimpi menjadi seorang pengantin muda yang cantik jelita dengan gaun pengantin yang indah. Dan yang pasti hanya ka’ Farid-lah yang kuizinkan duduk mendampingiku.
***
“Selamat pagi Om” Sapa ka’ Farid kepada Ayah. “Pagi, ya, silahkan duduk” Jawaban manis dari Ayahku. “Saya Farid Om, ini teman saya Adi” Tak kalah manis senyum yang mereka berikan. “Ehm, ini yang namanya Farid, saya sudah sering dengar cerita tentang kamu tapi baru kali ini saya bisa melihat wajahmu” Lanjut Ayah.  “Iya om, calon menantu yang baik” Celetuk Adi membuat suasanya semakin bersahabat.
Ingin rasanya aku bergabung dengan mereka, namun itu tidak mungkin. Aku takut mengganggu kenyamanan mereka. Dibelakang, aku persiapkan beberapa makanan dan minuman. Ayah terlihat begitu  nyaman bersama ka’ Farid. Namun aku tidak tahu pasti apa yang menjadikan Ayah begitu merasa nyaman bersamanya. Begitu pula dengan ka’ Farid. Mereka terlihat seperti sudah lama kenal. Padahal  baru kali ini mereka bertemu.
***
Dua hari kemudian Bunda sudah berada di rumah. Ayah memanggil kami agar berkumpul diruang keluarga. Bunda yang sedang sibuk dengan pekerjaannya akhirnya keluar kamar dan menuju ruang keluarga. Aku tidak tahu pasti apa yang ingin Ayah sampaikan pada kami. Aku tinggalkan novel yang diberikan ka’ Farid saat dia datang kerumah kemaren. “Ayah ini tumben, masih sore sudah ngajak lihat film bareng, ini masih pukul delapan Yah, biasanya kita lihat TV bareng kalau sudah pukul Sembilan kan?” Kata Bunda setelah duduk di samping Ayah. “Ayah kangen kalian saja” Jawab Ayah menggoda. “Tidak, sebenarnya Ayah ingin membicarakan sesuatu tentang Zada” Lanjut Ayah”. “Zada???” Tanyaku heran. “Zada kenapa Yah, Zada kan ndak berbuat salah apa-apa”. “Dengarkan penjelasan Ayahmu dulu Zada” Jawab Bunda”.
Ayah memulai pembicaraan. “Pertama Ayah ingin bicara sama Bunda. Zada itu sudah besar, dan kita sebenarnya sudah tidak layak jika terlalu sering melarangnya untuk berbuat ini dan itu. Asalkan itu tidak menyalahi aturan dan itu memang baik untuknya. Ayah ingin agar Zada segera mengesahkan hubungannya dengan Farid melalui sebuah tali pernikahan. Keduanya sudah sama-sama dewasa. Ayah tidak ingin jika Zada terus-terusan menyembunyikan hubungannya dengan Farid pada kita”. Mendengar keterangan Ayah tersebut Bunda langsung tersentak dan kaget. “Apa??? Sejak kapan Ayah kenal sama Farid? Dia itu bukan anak baik-baik Yah, prestasinya di kampus tidak segemilang Zada, dia itu aktivis yang sukanya hanya demo sana sini, Ayah mau anak Ayah menikah dengan anak seperti itu?”. Dengan panjang kali lebar Bunda menjelaskan kepada Ayah, namun Ayah terlihat tak sedikitpun goyah. Entah apa yang menjadikan  Ayah begitu membela dan menginginkan hubunganku dengan ka’ Farid segera disahkan. Beberapa menit Ayah menjelaskan kembali dengan tidak kalah panjang kali lebarnya kepada Bunda. Akupun hanya diam dan tak tahu harus berbuat apa. Yang aku tahu, aku hanya berdoa’ semoga hati Bunda segera luluh dan mengizinkan hubunganku dengan ka’ Farid. Kulihat wajah Bunda yang awalnya tegang dan memerah padam, kini menjadi teduh dan sikap kasih sayangnya mulai tampak kembali.
Beberapa menit berlalu, dengan airmatanya yang tidak bisa dibendung akhirnya Bunda memelukku dan membisikkan padaku “Bunda izinkan engkau melanjutkan hubunganmu dengan Farid, Bunda tidak akan lagi membencinya, Bunda izinkan jika memang dia ingin menikahimu sayang”. Dipelukan Bunda, aku merasakan ada awan hangat yang menyapa. Aku merasakan kenyamanan disana. Aku merasa dunia ini akan segera bisa kumiliki. Mendapatkan izin dari Ayah dan Bunda, rasanya aku begitu senang yang tiada tara.
***
Pernikahan itu akhirnya kini tak lagi hanya menjadi mimpi. Allah mengizinkan kita mengikat tali suci dan meridhoi ka’ Farid mengucap ijab qobul di depan penghulu dan para saksi. Akhir semester VI aku menikah dengan ka’ Farid. Dia telah selesai mengerjakan skripsinya dan tinggal menunggu waktu wisuda. Pernikahan kami begitu megah dan meriah penuh dengan cinta. Betapa bahagianya kami setelah sekin lama menjalani hubungan tanpa mendapat ridho dari orangtua. Namun akhirnya kami dapat menempuhi semua masa-masa itu dengan sabar dan berusaha. Saat ka’ Farid diwisuda, aku medampinginya. Betapa lengkap kebahagiaan kami. Tali suci itu akhirnya mengikat kami dan menjadikan kami sepasang suami istri yang selalu menjaga satu sama lain. Hubungan itu pula yang kemudian menjadi motivasi terbesarku untuk segera menyelesaikan kuliahku. Dan kamipun berusaha bersama-sama untuk membangun rumah tangga yang penuh dengan keberkahan. Semua teman-temanku yang tahu bagaimana perjalan kasihku dengan ka’ Farid ikut merasakan kebahagiaan yang kami rasakan.



***Bahagia diakhir Cerita 

MENJADI GURU YANG DIRINDU

 menjadi guru adalah panggilan hati.  selengkapnya...... smamuhammadiyah1ngawi.sch.id