Pagi itu seperti pagi-pagi biasanya.
Setelah adzan shubuh berkumandang, maka beberapa menit kemudian akan berganti
hp-ku yang akan berkumandang, yang mengisyaratkan bahwa satu pesan terindah
penyambut pagi telah terjun membawa embun kesejukan. Pesan singkat darinya yang
mampu memberi kesejukan bak embun pagi. Pesan indah yang akan membuatku enggan
untuk menghapusnya. Sebuah pesan yang tak pernah bosan aku membacanya meski
dalam sehari kadang pernah sampai kubaca sebanyak tujuh kali.
“Matahariku, segeralah pancarkan sinarmu, bulan
telah kembali ke peraduannya, jangan biarkan bumiku gelap, karena hanya
pancaran sinarmulah yang mampu menerangi gelapnya bumiku ini”
Sangat indah. Itulah pujian yang sering
keluar dari kedua bibir tipisku. Pesan singkat yang sering membuatku seakan
melayang di atas awan dan terbang bersama burung-burung kecil atau bahkan pesan
yang sering membutku gila setiap pagi karena senyum-senyum sendiri di depan
cermin setiap kali membaca pesan tersebut. Mungkin karena pesan itu dikirim
oleh seseorang yang sangat istimewa dihatiku, oleh karenanya meski sebenarnya
pesan itu biasa-biasa saja, menjadi luar biasa saat aku yang membacanya.
***
Suasana kampus telah ramai meskipun
masih pagi. “Hai……semua, tau enggak, weekend kali ini lumayan panjang lho” Jelas
salah satu temanku yang sering aku panggil Mama. “Haa….iya ta Ma?” Jawabku dengan
bersemangat memastikan. “Iiihhh Zada semangat banget sih kelihatannya, mau
pulang ya” Jawab Mama sambil senyum-senyum tanpa tahu alasannya. “Iya lah Ma,,,,,Zada
sudah kangen tuh sama seseorang yang nun jauh disana” Sindir salah satu temanku
yang postur tubuhnya seperti model karena dia paling tinggi diantara keenam
teman dekatku. Dengan malu-malu akhirnya aku menjawabnya “Iya Ma, sudah beberapa
bulan aku tidak bertemu dengannya”. “Kangen yaa,,,,” Rahayu temanku yang paling
usil mulai mengeluarkan suara. “Zada,
sebenarnya kamu masih berhubungan dengan Farid nggak sih?” ko’ kita sekarang
jarang dengar cerita tentang kalian” Lanjutnya. Tiba-tiba pertanyaan itu mengingatanku pada
kejadian beberapa bulan yang lalu saat aku pulang ke rumah dan seakan berada
diruang sidang yang sedang dihakimi oleh Bundaku sendiri mengenai hubunganku
dengan ka’ Farid.
“Bunda tidak setuju jika kamu masih
berhubungan dengan Farid, Farid itu bukan mahasiswa yang cerdas. Benar dia
seorang aktivis tapi dia tidak bisa menyeimbangkan kuliah dan kegiatannya
menjadi aktivis, Bunda tidak mau jika anak Bunda terpengaruh dengan perilakunya
yang tidak mencerminkan seorang mahasiwa” Itulah kata-kata bunda yang masih
bisa kuingat jelas di kepala.
“Ehmmm, jadi Bundamu tidak setuju kalau
kamu sama ka’ Farid” sahut Rahayu setelah kuceritakan semua kepada mereka. “Kita
sebenarnya saling menyayangi, ka’ Farid pernah berjanji padaku bahwa dia tidak
main-main dengan hubungan ini, begitupun dengan aku, aku tidak mau jika
hubungan kita hanya sekedar main-main yang tidak jelas jluntrungannya. Beberapa bulan yang lalu pasca kejadian Bunda yang
marah-marah karena tahu hubunganku dengan ka’ Farid, sebenarnya ka’ Farid ingin
datang ke rumah dan bilang pada Bunda bahwa dia sebenarnya ingin segera melamar
anaknya yang sangat dia cintai ini, tapi aku melarangnya dengan alasan,
yaaa,,,, kalian tahu sendiri kan bagaimana sikap Bunda jika sudah tidak suka
pada seseorang, bisa-bisa ka’ Farid digigit saat dia berani datang ke rumah dan
menemuiku” Jelasku panjang lebar kepada mereka. “Terus selama ini kalian tidak
pernah ketemuan di rumah?” Tanya Ikha salah satu temanku yang pipinya
seringkali ingin kucubit saking tembemnya.
“Ya kalau kita bertemu pasti di
kampusnya Kha”.
“Tapi kan Bundamu juga jadi dosen
disana, gimana kalau dia tahu kamu ketemuan sama ka’ Farid disana?”
“Aku selalu pura-pura mau bertemu
teman-temanku yang mayoritas melanjutkan kuliah disana. Aku bilang kalau aku
kangen sama mereka, aku ingin kesempatan pulangku bisa aku gunakan untuk
bertemu dan sekedar bertukar kabar dengan mereka. Saat itu memang Bundaku tidak
menaruh curiga sedikitpun padaku, tapi aku tak tahu apa yang akan di perbuat
Bunda setelah tahu aku masih berhubungan dengan ka’ Farid, mungkin aku tidak
akan diizinkan lagi ikut Bunda ke kampus kerena ka’ Farid juga ada disana”.
“Haduhhhh…..kasihan sekali sih kamu
Zada” Respon Mama saat mendengar kisah tragis cintaku.
Baru saja ingin kujelaskan lebih lanjut
ceritaku karena dosen tak kunjung juga datang, tiba-tiba handphoneku berbunyi.
“Hemmm pasti dari ka’ Farid yaa….” Sindir Rahayu. Tidak salah, panggilan masuk
dari ka’ Farid. Segera kuangkat panggilan itu dan terdengar suara di seberang
sana “Matahariku tidak ada kuliah? Ko’ tumben bisa angkat panggilan kaka’?”
tanyanya mengawali perbincaangan.
“Iya ka’ tidak ada dosen pagi ini, ada
apa ka’ pagi-pagi sudah telepon?”
“Ndak, kaka’ cuma mau Tanya, adek ndak
pulang ta liburan besok? kaka’ dengar dari Adi temen kaka’ yang kuliah di
kampus adek, mulai besok hingga ahad kampus adek libur”
“Iya ka’, Zada pulang ko’. Kenapa?
Kangen ya?” jawabku menggodanya
“Ehmmm, begitulah” jawabnya singkat dan
terdengar suara tawa diseberang sana
“Iya ka’ doakan saja Zada bisa pulang
secepatnya. Mungkin kalau tidak hari ini besok pagi”
“Oke matahariku, selamat beraktivitas,
semoga cintamu padaku tak akan pernah layu meski jalan yang harus kita tempuh
tak sesejuk embun pagi”
Senyum haru tiba-tiba meliputiku “Iya
kaka’, semoga jalan kita segera dipermudah”
“Kaka’ akhiri ya dek, kaka’ tunggu
kedatangnnya, selamat pagi”
“Iya ka’ selamat pagi”
Tuttt tuttt tuttt sambungan itu
terputus.
“Ya sudah, kita akhiri dulu adja
ceritanya, sepertinya ada yang sudah tidak sabar nih pengen segera pulang” Terang Mama sambil
beranjak dari tempat duduknya.
***
Belum sampai aku di kamar tiba-tiba ada
pesan masuk dari Bunda, “Zada, Nak, Bunda besok ada acara di luar kota, kampus
tempat Bunda ngajar besok libur, kampus Zada libur ndak? Kalau Zada pulang,
maaf ya Nak, Bunda tidak bisa menemani, Zada ajak papa saja kalau mau
jalan-jalan”. Tak lama kemudian kedua jempolku mulai beraksi “iya Bunda, Zada
pulang sore ini”. Pesankupun terkirim. Jawaban pesan muncul beberapa detik
kemudian “Oke sayang, Bunda tunggu”
Semua barang yag ingin kubawa pulang
segera kukemasi dan kumasukkan ke dalam tas ransel yang selama ini menemaniku
disaat perjalanan jauh. Tak lupa kubawa novel-novel terbaru yang belum sempat kuselesaikan
membacanya. Namun sering novel-novel tersebut tak mampu kuselesaikan membacanya
saat liburan dirumah, karena liburanku dirumah lebih sering kumanfaatkan untuk
bertemu dengan ka’ Farid dan diskusi bareng dengannya. Atau terkadang karena
ka’ Farid juga memberi novel terbaru yang belum pernah kubaca. Aku dan ka’
Farid mempunyai hoby yang sama, membaca novel dan berdiskusi. Namun aku
bukanlah aktivis yang cerdas seperti ka’ Farid. Bunda tak pernah mengizinkanku
menjadi aktivis, padahal itu adalah cita-citaku sejak aku dinobatkan menjadi
seorang mahasiswa. Aku bisa tahu pengalaman hidup seorang aktivis hanya dari
ka’ Farid.
***
Bus yang kutumpangi melaju dengan
kecepatan sedang. Membelah hutan dan gunung-gunung yang tak ramai oleh
pengendara karena hari sudah mulai senja. Perjalananku menuju rumah hanya
menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam. Sambil melamun di perjalanan, dalam
hati ingin sekali aku mempertemukan Ayah dengan ka’ Farid. Karena Bunda besok
tidak ada di rumah, sedangkan Ayah pasti juga sedang libur tidak masuk kerja.
Selama perjalanan, aku jarang
bermain-main dengan hp sebagaimana penumpang yang lain. Aku lebih suka
menikmati pemandangan luar yang begitu indah karena diliputi dengan tumbuhan
pinus yang berjajar rapi disepanjang jalan. Dilengkapi dengan aliran
sungai-sungai kecil yang begitu jernih airnya.
Terrttt terrrtttt,,,,,,
Tiba-tiba hp-ku bergetar dan ada satu
pesan masuk. “Dek, kaka’ besok ingin berkunjung
kerumah adek. Izinkan kaka’ datang kesana ya?” Satu pesan masuk dari ka’
Farid. Kubiarkan kedua jempolku menari diatas keyboard hp untuk menjawab pesan
ka’ Farid. “Kaka’ tumben mau main ke rumah? Ada apa ka’? kita tidak ketemu di
kampus kaka’ seperti biasa saja ta ka’?”. Tak sampai beberapa menit pesan
jawaban dari ka’ Farid masuk “Kaka’ pengen ketemu Bunda dek, kaka’ rasa ini
adalah saat yang tepat. Sudah terlalu lama kita menjalani hubungan dengan
kondisi seperti ini. Kaka’ tidak pengen jadi pengecut dek, kaka’ ingin menemui
kedua orangtua adek dan ingin segera menghalalkan hubungan ini dek”.
Deg, angin apa yang tiba-tiba mendorong
ka’ Farid berbicara layaknya seorang raja yang sedang menginginkan permaisuri
seperti ini. Seakan-akan ada burung garuda besar yang tiba-tiba menyambarku dan
mengajakku terbang bebas ke angkasa luas.
“Ka’ Farid jangan main-main deh, ka’
Farid sedang tidak bercanda kan?”
“Kaka’ serius adek, jam berapa
kira-kira kaka’ bisa bertemu orangtua adek?”
Kembali aku mencoba menyadarkan diriku
dengan mencubit pipi kananku sambil kujelaskan pada ka’ Farid “Besok Bunda
tidak ada dirumah ka’, beliau sedang diluar kota”. “Oke lah, biar ka’ Farid
bertemu dengan Ayah saja, meski sebenarnya yang ingin kaka’ temui adalah Bunda,
karena beliaulah yang menjadi tantangan terbesar buat kaka’ untuk bisa
mendapatkan pujaan hati kaka’” Rasanya kembali burung garuda itu mengebaskan
sayap lebarnya dan menempatkan aku di tempat tertinggi. “Iya, kalau memang itu
keinginan kaka’, besok kaka’ bisa datang kerumah untuk menemui Ayah”. “Oke
adek, ohh ya, sebelumnya kaka’ ingin memastikan sendiri kepada pujaan hati
kaka’, kira-kira apakah kaka’ diizinkan menjadi imam untuk adek selamanya?”. Allah…..dalam
hatiku bergumam, apa ini jawaban yang Engkau berikan atas do’a-do’aku disetiap
malam. Aku yang selalu menunggu kapan kiranya Engkau permudah perjalan kisah
ini menuju istana yang lebih mulia.
“Zada percayakan semuanya kepada kaka’,
keyakinan Zada kepada kaka’ telah mengakar, Zada tidak bisa menjelaskan panjang
lebar di telepon ka’”. “Alhamdulillah, kaka’ akan segera menemui orangtua adek
besok, hati-hati diperjalanan, jaga diri baik-baik, sampai bertemu besok,
assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam” Jawabku.
Komunikasi melalui pesan itu kami
akhiri, sekali lagi kusebut nama Allah, akhirnya keberanian ka’ Farid untuk
datang ke orangtua telah lahir. Dalam
hati aku hanya bisa berdo’a, semoga hati Ayah dan Bunda segera bisa luluh dan
mengizinkanku menjalin hubungan yang lebih mulia dengan ka’ Farid.
***
Suasana rumah masih tak beda jauh
dengan sebelum-sebelumnya. Ayah masih tetap suka membaca Koran hingga larut
malam di depan TV dan Bundapun masih selalu asyik dengan persiapan mengajarnya.
Sebelum aku menuju kamar tidurku, aku berbisik pada Ayah. “Ayah, besok ada
seseorang yang ingin menemui Ayah, Ayah tidak sibuk kan?”. “Siapa?” jawab Ayah
dengan suaranya yang lantang membahana. “Ayah jangan keras-keras, nanti
terdengar Bunda. Pokoknya besok Ayah temui saja dia ya Yah?” pintaku pada Ayah.
“Tapi Ayah besok harus mengantarkan
Bundamu ke bandara Zada”. “Dia besok datang setelah Ayah dari bandara kok”
Bujukku. “Ehmmm, okelah, apa sih yang tidak buat Zada” Jawab Ayah. “Terimakasih
Ayah” kupeluk Ayah dan aku kembali menuju kamar untuk istirahat.
***
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak.
Pikiranku terbawa oleh angan mengenai apa yang bakal terjadi besok setelah Ayah
bertemu dengan ka’ Farid. Aku memikirkan apa yang akan dilakukan ka’ Farid jika
besok dia bertemu langsung dengan Ayah. Aku memang sudah sering menceritakan
hubunganku dengan ka’ Farid kepada Ayah. Aku sering menjelaskan bagaimana
pengaruhnya terhadap prestasi dan pengalaman yang bisa aku dapatkan selama aku
berhubungan dengan ka’ Farid. Namun sekalipun Ayah belum pernah melihat
wajahnya secara langsung meskipun sebenarnya respon Ayah begitu baik terhadap
hubunganku dengan ka’ Farid. Aku membayangkan apakah besok ka’ Farid bakal berani
meminta pada Ayah untuk meminangku dan membawa hubungan kita menuju ridho-NYA
atau bagaimana. Ah, entahlah. Namun yang pasti, malam ini tiba-tiba aku ingin
bermimpi menjadi seorang pengantin muda yang cantik jelita dengan gaun
pengantin yang indah. Dan yang pasti hanya ka’ Farid-lah yang kuizinkan duduk
mendampingiku.
***
“Selamat pagi Om” Sapa ka’ Farid kepada
Ayah. “Pagi, ya, silahkan duduk” Jawaban manis dari Ayahku. “Saya Farid Om, ini
teman saya Adi” Tak kalah manis senyum yang mereka berikan. “Ehm, ini yang
namanya Farid, saya sudah sering dengar cerita tentang kamu tapi baru kali ini
saya bisa melihat wajahmu” Lanjut Ayah. “Iya
om, calon menantu yang baik” Celetuk Adi membuat suasanya semakin bersahabat.
Ingin rasanya aku bergabung dengan
mereka, namun itu tidak mungkin. Aku takut mengganggu kenyamanan mereka.
Dibelakang, aku persiapkan beberapa makanan dan minuman. Ayah terlihat begitu nyaman bersama ka’ Farid. Namun aku tidak
tahu pasti apa yang menjadikan Ayah begitu merasa nyaman bersamanya. Begitu
pula dengan ka’ Farid. Mereka terlihat seperti sudah lama kenal. Padahal baru kali ini mereka bertemu.
***
Dua hari kemudian Bunda sudah berada di
rumah. Ayah memanggil kami agar berkumpul diruang keluarga. Bunda yang sedang
sibuk dengan pekerjaannya akhirnya keluar kamar dan menuju ruang keluarga. Aku
tidak tahu pasti apa yang ingin Ayah sampaikan pada kami. Aku tinggalkan novel
yang diberikan ka’ Farid saat dia datang kerumah kemaren. “Ayah ini tumben,
masih sore sudah ngajak lihat film bareng, ini masih pukul delapan Yah,
biasanya kita lihat TV bareng kalau sudah pukul Sembilan kan?” Kata Bunda
setelah duduk di samping Ayah. “Ayah kangen kalian saja” Jawab Ayah menggoda.
“Tidak, sebenarnya Ayah ingin membicarakan sesuatu tentang Zada” Lanjut Ayah”.
“Zada???” Tanyaku heran. “Zada kenapa Yah, Zada kan ndak berbuat salah
apa-apa”. “Dengarkan penjelasan Ayahmu dulu Zada” Jawab Bunda”.
Ayah memulai pembicaraan. “Pertama Ayah
ingin bicara sama Bunda. Zada itu sudah besar, dan kita sebenarnya sudah tidak
layak jika terlalu sering melarangnya untuk berbuat ini dan itu. Asalkan itu
tidak menyalahi aturan dan itu memang baik untuknya. Ayah ingin agar Zada segera
mengesahkan hubungannya dengan Farid melalui sebuah tali pernikahan. Keduanya
sudah sama-sama dewasa. Ayah tidak ingin jika Zada terus-terusan menyembunyikan
hubungannya dengan Farid pada kita”. Mendengar keterangan Ayah tersebut Bunda
langsung tersentak dan kaget. “Apa??? Sejak kapan Ayah kenal sama Farid? Dia
itu bukan anak baik-baik Yah, prestasinya di kampus tidak segemilang Zada, dia
itu aktivis yang sukanya hanya demo sana sini, Ayah mau anak Ayah menikah
dengan anak seperti itu?”. Dengan panjang kali lebar Bunda menjelaskan kepada
Ayah, namun Ayah terlihat tak sedikitpun goyah. Entah apa yang menjadikan Ayah begitu membela dan menginginkan hubunganku
dengan ka’ Farid segera disahkan. Beberapa menit Ayah menjelaskan kembali dengan
tidak kalah panjang kali lebarnya kepada Bunda. Akupun hanya diam dan tak tahu
harus berbuat apa. Yang aku tahu, aku hanya berdoa’ semoga hati Bunda segera
luluh dan mengizinkan hubunganku dengan ka’ Farid. Kulihat wajah Bunda yang
awalnya tegang dan memerah padam, kini menjadi teduh dan sikap kasih sayangnya
mulai tampak kembali.
Beberapa menit berlalu, dengan
airmatanya yang tidak bisa dibendung akhirnya Bunda memelukku dan membisikkan
padaku “Bunda izinkan engkau melanjutkan hubunganmu dengan Farid, Bunda tidak
akan lagi membencinya, Bunda izinkan jika memang dia ingin menikahimu sayang”. Dipelukan
Bunda, aku merasakan ada awan hangat yang menyapa. Aku merasakan kenyamanan
disana. Aku merasa dunia ini akan segera bisa kumiliki. Mendapatkan izin dari
Ayah dan Bunda, rasanya aku begitu senang yang tiada tara.
***
Pernikahan itu akhirnya kini tak lagi
hanya menjadi mimpi. Allah mengizinkan kita mengikat tali suci dan meridhoi ka’
Farid mengucap ijab qobul di depan penghulu dan para saksi. Akhir semester VI
aku menikah dengan ka’ Farid. Dia telah selesai mengerjakan skripsinya dan
tinggal menunggu waktu wisuda. Pernikahan kami begitu megah dan meriah penuh
dengan cinta. Betapa bahagianya kami setelah sekin lama menjalani hubungan
tanpa mendapat ridho dari orangtua. Namun akhirnya kami dapat menempuhi semua
masa-masa itu dengan sabar dan berusaha. Saat ka’ Farid diwisuda, aku
medampinginya. Betapa lengkap kebahagiaan kami. Tali suci itu akhirnya mengikat
kami dan menjadikan kami sepasang suami istri yang selalu menjaga satu sama
lain. Hubungan itu pula yang kemudian menjadi motivasi terbesarku untuk segera
menyelesaikan kuliahku. Dan kamipun berusaha bersama-sama untuk membangun rumah
tangga yang penuh dengan keberkahan. Semua teman-temanku yang tahu bagaimana
perjalan kasihku dengan ka’ Farid ikut merasakan kebahagiaan yang kami rasakan.
***Bahagia diakhir Cerita