Senin, 10 Desember 2012

pancaran mata-nya


Ya Basyiir
“ Terimakasih telah memberikan mata indah padaku”
(bersyukurlah bagi engkau yang memiliki mata sempurna)
Warna molekul organic biasanya berhubungan dengan luasnya system terkonjugasi ikatan rangkap. Contoh yang baik iadalah β-karoten,suatu pigmen kuning-jingga yang dijumpai dalam wortel dan banyak tumbuhan lainnya. Hidrokarbon C40H56 ini memiliki 11 ikatan rangkap karbon-karbon yang berkonjugasi. Zat ini merupakan prekusor biologis bagi vitamin A,yaitu alcohol tak jenuh berkarbon 20,yang juga disebut retinol. Retinol ini menghasilkan kunci terlibat dalam penglihatan,yaitu 11-cis-retinal. Konversi vitamin A menjadi 11-cis-retinal tidak saja melibatkan  oksidasi gugus alcohol (-CH2OH) menjadi aldehid (-CH=O),tetapi juga isomerisme transcis pada ikatan rangkap C11-C12.
Isomerisme cis-trans memainkan peran penting dalam proses penglihatan. Sel batang dalam retinapada mata mengandung pigmen merah dan peka cahaya yang disebut rodopsin. ]]]]]]pigmen ini terdiri atas protein opsin yang bergabung oada tapak aktifnya dengan 11-cis-retinal. Bila cahaya tampak dengan energy yang sesuai diserap oleh rodopsin,maka kompleks cis-retinal berisomerisasi menjadi isomer trans. Proses ini luar biasa cepatnya,terjadi hanya dalam hitungan pikodetik(10-12). Kompleks trans-retinal dengan opsin (disebut metarodopsin-11) kurang stabil dibandingkan kompleks cis-retinal,dam kompleks ini menjadi opsin dan trans-retinal. Perubahan geometri ini memicu tanggapan dalam sel saraf batang yang ditransmisikan ke otak dan diterima sebagai penglihatan.
Jika Cuma hal ini sja yang terjadi,kita hanya mampu melihat sekejap saja,sebab semua 11-cis-retinal yang ada dalam sel batang dengan cepat akan terkonsumsi. Untunglah enzim retinal isomerase,dengan bantuan cahaya,mengonversi kembali trans-retinal menjadi isomer 11-cis,sehingga siklus ini dapat diulangi. Ion kalsium dalam sel batang dan membrannya mengendalikan seberaa cepat system ini pulih setelah terpapar ke cahaya. Ion ini juga membantu adaptasi sel terhadap berbagai tingkat pencahayaan. 

Sumber : Hart,Chain Hart.2003.Kimia Organik,Suatu Kuliah Singkat,Edisi
Kesebelas. Jakarta: Erlangga

Jumat, 07 Desember 2012


Negosiasi Identitas Santri Berhadapan dengan Realitas Kehidupan Mahasiswa dan Kampus”
(Pesantren Vs Kampus)
Oleh : Imma yaumil fadlilah
Mahasiswi kimia angkatan 2010 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Berbagai aspek kehidupan saat ini,mendapatkan dampak yang cukup signifikan akibat adanya arus globlalisasi yang semakin deras. Institusi pendidikan sebagai institusi yang selalu berkembang seiring dengan denyut nadi perkembangan zaman tampaknya tidak terlepas dari dampak globalisasi ini. Pondok pesantren yang merupakan institusi pendidikan tertua di Indonesiapun,juga dilanda oleh derasnya arus globlasisasi tersebut. Namun demikian, pondok pesantren terus berupaya mengikuti dan mengimbangi irama dan alur perkembangan globalisasi yang ada.
Santri. Istilah yang sangat erat dengan kata sarung,kopyah,kitab kuning,setoran dan istilah-istilah khas yang lainnya. Santri merupakan suatu unsure yang sangat  urgen dalam suatu institusi pendidikan agama yang bernama pondok pesantren. Dunia Pondok pesantren,dalam kacamata pandang beberapa orang,dikatakan sebagai suatu kawasan  yang memiliki atmosfer ibarat penjara suci. Santri selalu dituntut untuk menjadi insan yang memiliki budi pekerti yang baik dan mempunyai rasa sosial yang tinggi. Pesantren yang selalu mengajarkan mengenai ketawadhu’an sangat erat kaitannya dengan pendidikan moral bagi setiap santrinya. Ketika  seorang kyai menyuruh santri mengerjakan sesuatu,tanpa berfikir panjang para santri yang mendapat dawuh atau perintah tersebut, akan mengerjakan tugas yang diamanahkan. Santri tidak pernah terfikir sama sekali mengenai imbalan. Hal inipun terkadang menjadikan munculnya rasa heran terhadap beberapa orang yang melihatnya. Salah satu ciri yang mengakar kuat dalam nuansa Pondok Pesantren adalah loyalitas yang tinggi terhadap seorang ustadz atau ustadzah. Seberapa berat dan pahitnya suatu perintah yang di ‘dawuh’kan oleh guru (ustadz/ah),maka semaksimal mungkin santri diharuskan untuk melaksanakan dan mentaatinya. Berbeda dengan dunia yang ada diluar pesantren seperti dunia kampus misalnya,merupakan suatu hal yang mungkin bisa dianggap benar jika kita menolaknya dengan beberapa alasan tertentu,akan tetapi adalah suatu hal yang sangat tidak dianggap benar dan bahkan merupakan suatu larangan besar jika kita berusaha menolak apa yang diperintahkan oleh guru(ustadz/ah) tersebut jika hal ini terjadi diduia pesantren. Dunia pesantren masih sarat dengan istilah “Ngalap Braokahe Guru(mengharap barokahnya guru)”,yaitu dengan selalu taat ,menjalankan segala macam bentuk perintah yang dititahkan oleh tiap-tiap guru mereka. Bahkan suatu perkara yang mungkin menurut anggapan beberapa orang tidak masuk akal atau bahkan tidak dibenarkan,tetap harus berlaku perkara tersebut bagi santri jika perkara tersebut datangnya dari sang guru. Dunia pesantren tidak pernah mengajarkan istilah pembantahan terhadap guru. Yang sangat mereka harapkan adalah  Keberkahan. Ketika teguran datang dari seorang ustadz maka satu kata pun tidak akan berani dilontarkan dari mulut para santri. Kesalahan yang mereka perbuatpun mereka renungi dan mereka sadari . Para santri mencoba untuk mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini bukan semata-semata absolutisme seorang ustadz atau kyai, tapi pendidikan yang yang mengajarkan betapa pentingnya tanggung jawab dan keberanian menghadapi resiko dari suatu perbuatan yang ditanamkan kepada para santrinya. Dunia pesantren senantiasa menginginkan kedamaian bagi setiap penghuninya. Kehidupan pesantren juga mengajarkan para santri untuk bertahan dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan. Tak jarang pula kehidupan santri identik dengan bentuk pengajaran yang mengarah kepada sikap kemandirian terhadap masing-masing individu santri. Tidak sedikit dari para santri yang harus hidup diantara “kekurangan”. Namun,dengan kekurangan-kekurangan yang sedang mereka alami justru tidak menjadikan santri kemudian berputus asa dan merasa malas untuk melakukan kewajibannya mencari ilmu di pesantren. Semangat untuk mencari ilmu tidak berkurang sama sekali. Justru kondisi seperti itulah yang menjadikan mereka banyak yang melakukan “tirakat”. Bagi perasaan mereka yang sedang ‘galau’ ketika dilanda kekeringan kantong maka tirakat itulah yang dijadikan sebagai senjata andalan. Tanpa mengeluh sedikitpun,mereka tetap dapat beraktivitas sebagaimana biasnya. Mereka sangat percaya dengan apa yang dituturkan dalam kitab ta’limul muta’alim. Banyak berfoya-foya dalam menuntut ilmu hanya akan membuat ilmu tidak barokah dan otak tidak bisa berfikir. Mereka tetap bersabar dalam menuntut ilmu dalam kondisi apapun. Bagi mereka,bukanlah suatu beban ketika dharuskan untuk bangun ketika semua mata terlelap cantik dibawah naungan gelapnya malam. Meski mereka harus menahan kelopak mata agar tetap terbuka disaat kantuk menghantui, tidak membuat semangat mereka redup. Berbekal sebuah kitab yang menjadi pedoman bagi segenap umat muslim (Al-Qur’an) ataupun kitab kuning yang bertuliskan arab tanpa harokat dan bolpoin yang tidak mewah,mereka mulai beranjak dari tempat tidurnya dan memulai perjalanannya untuk mengais ilmu yang Alloh berikan lewat ulama-ulama terdahulu. Sebuah pemandangan yang indah dikala kita menyaksikan saat itu.
Zaman budaya “trans-nasionl” yang sudah merajalela dinegeri ini merupakan tantangan bagi para generasi bangsa Indonesia dalam menjaga dirinya dari berbagai pengaruh perubahan dunia yang banyak bersebrangan dengan nilai-nilai moral: agama, budaya dan social. Bahkan dengan bermunculanya berbagai faham  kebebasan, banyak dari kalangan mahasiswa yang hanyut dalam dunia kebebasan tanpa batas, hingga mengakibatkan para generasi bangsa terjerembab dalam perilaku amoral bahkan seks bebas, yang tanpa mereka sadari itu justru akan membunuh mereka secara pelan-pelan.
Dunia kampus adalah dunia yang khas dengan aroma ketidak puasan,yang sering mereka bilang “kita itu jadi orang harus kritis”. Kata kritis merupakan kata yang perlu digaris bawahi. Menurut sebagian orang,kritis merupakan suatu sifat atau cara berpikir yang wajib dimiliki oleh mahasiswa. Mereka bilang jangan “pede” menyandang gelar mahasiswa jika bisanya hanya “sendiko dawuh” saja kepada dosen ataupun atasaannya. Itu bukanlah sikap yang dibenarkan didunia kampus,menurut kebanyakan penghuni tetapnya yaitu mahasiswa. Jika suatu ketika dosen menginginkan kita harus masuk tepat waktu dan tidak boleh terlambat,maka ketika dosen tersebut terlambat  masuk kelas,adalah suatu tindakan yang tidak dibenarkan jika kita hanya diam tanpa tindakan . kita harus berani menyampaikan bahwa apa yang telah beliau lakukan merupakan tindak ketidakadilan. Hal ini bisa menjadi suatu masalah besar kalau sudah dihadapakan dengan yang namanya mahasiswa kritis. Dunia mahasiswa,dijadikan sebagai dunia yang menjadi titik acuan bagi sebagian orang. Meraka yang menyandang sebagai “agent of change” selalu merasa berkuasa atas segala sesuatu permasalahan yang ada. Meski demikian,tidak jarang pula beberapa mahasiswa yang tidak memanfaatkan masa-masa kejayaan mereka untuk memaksimalkan aksi dan kreasi mereka. Mereka justru terjerumus kepada sikap hedonisme, yang itu justru tidak memberikan laba bagi mereka namun justru hanya akan menyengsarakan mereka. Mereka yang berpikir bakal hidup seribu tahun lagi,tidak pernah memikirkan kapan ia akan berada dalam “Ground State” ataupun “exited State”. Yang ada dipikiran mereka hanyalah hidup sekarang harus dinikmati. Masalah taubat belakangan,masih ada seribu tahun lagi.
Berkaca dari dua hal tersebut ,merupakan suatu perkara yang sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi didunia pesantren. Antara dunia pesantren dan dunia kemahasiswaan (kampus). Dua dunia yang memiliki iklim yang berbeda. Lantas,,,,,,bagaimana jika terjadi integrasi antara keduanya???
Pesantren hadir didunia kampus. Kehadiran tersebut dimulai dari banyaknya kalangan santri yang mayoritas sudah mendapatkan izin dari para kyainya untuk menambah wawasan khazanah pengetahuannya didunia kampus. Ingtegrasi dimulai. Seiring perkembangan dunia yang semakin tak dapat dikendalikan,pesantrenpun tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Pesantren yang mayoritas dulu penghuninya hanya mengenal istilah kitab kuning,diba’,al-Barzanji “wa-akhowatuha”,kini menginginkan suatu bentuk pembaharuan yang mana pembaharuan tersebut diharapkan dapat mengantarkan para santrinya agar dapat semaksimal mungkin mengekspresikan bentuk “hablun-minan-nas” dengan masyarakat yang nantinya akan dihadapinya ketika mereka sudah tidak hidup didunia pesantren lagi. Santri yang oleh mayoritas orang dikatakan ”kuper”,kini mulai bertebaran didunia kampus. Tidak jarang pula justru mahasiswa yang mempunyai latar belakang santri saat ini justru tidak memperdaam ilmu agamanya lagi ketika mereka duduk didunia perkuliahan. Dengan berbekal ilmu agama yang kuat yang mereka bawa dari pesantren,mereka harapkan dapat dijadikan sebagi pondasi bagi prinsip hidupnya ketika harus berhadapan dengan dunia kampus yang sangat kental dengan istilah radikal,liberal ataupun sejenisnya. Nuansa ketawadlu’an yang masih hangat melekat pada diri santri,kadang justru dijadikan sebagai bahan ejekan oleh mahasiswa lain yang tidak mempunyai latar belakang pesantren. Mereka menganggap mahasiswa yang berasal dari pesantren tidak dapat dijak untuk berpikir kritis. Mereka hanya bisa bilang “enggeh-mboten” ketika orang lain menyuruh taupun menyampaikan sesuatu padanya. Mahasiswa yang berlatar belakang santri kadang selalu menolak ajakan dari mahasiswa lain yang mengajak memasuki sebuah organisasi misalnya,mereka menganggap hal itu hanya akan menjerumuskan mereka kepada sikap dan cara hidup yang tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh pendidikan pesantren yang pernah ia dapatkan.  Hal ini merupakan sesuatu hal dapat dimaklumi pada saat itu.  Namun ternyata justru tidak untuk sekarang. Hadirnya santri-santri cerdas didunia kampus,kini mulai memberikan nuansa yang hangat dan khas bagi  dunia kampus. Generasi muda kita,yang berlatar belakang peantren kini mulai muncul dengan kesadaran untuk berani menyampaikan aspirasi mereka,dengan seiring menimbang-nimbang sebab akibat terhadap setiap apa yang akan di lakukan. Selain itu,tanpa mengurangi identitasnya sebagai santri yang hidup didunia kampus,mereka mulai berani menyibukkan diri untuk melakukan kegiatan social yang ada dilingkungan kampus seperti keterlibatanya dalam sebuah organisasi: BEM maupun organisasi lainya yang ada di kampus. Tak hanya itu, mereka juga dapat dikatakan selektif dalam mencari teman bergaul. Meskipun demikian ciri khas santri yang sederhana tetap dapat mereka pertahankan. Dengan kesibukan yang berbeda dengan mahasiswa lainnya, merekapun sudah dapat berani mengambil sikap tegas,yaitu dengan menyatakan mana sekiranya hal yang perlu dilakukan dan mana yang tidak. Tanpa mengurangi rasa ketidak tawadlu’an,mereka sudah dapat berpikir kritis yang dimaknai sebagai bentuk penyelarasan keadilan untuk dapat menghadapi dampak transformasi budaya global yang alirannya semakin tidak bisa dibendung.  
Dalam perjalanan menuju proses perkembangan dan kesuksesan pendidikan nasional di Indonesia, Pendidikan pesantren mungkin dapat dikatakan sebagai modal sosial dan bahkan soko guru yang banyak memberikan kontribusi baginya. Pesantren mempunyai manifestasi yang besar dikancah dunia baik social maupun kebudayaan. Dunia pesantren adalah dunia yang mengajarkan kedamaian. Peranan pesantren didunia politik modern saat ini,merupakan salah bentuk dinmika perkembangan pesantren saat ini.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan penting moral keagamaan sebagai perilaku sehari-hari.
Zaman sekarang yang dapat dikatakan sebagai zaman modernpun ternyata masih banyak terdapat pondok pesantren yang masih menggunakan kurikulum yang bersifat tradisional. Sehingga untuk mengahadapi tantangan zaman yang semakin dan terus berkembang, diperlukannya pembaharuan-pembaharuan yang dapat meningkatkan kualitas SDM, baik secara imtaq maupun iptek nya. Oleh karenanya,dengan hadirnya para santri didunia kampus diharapkan akan terbentuk kampus yang memiliki nafas islami yang kuat. Dan nantinya para alumni/sarjana ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu yang telah diperolehnya untuk memajukan pesantren asal mereka.  
Pondok pesantren merupakan komunitas yang memiliki sifat kesederhanaan, sehingga prinsip kesederhanaan tersebut diharapakan dapat menyelaraskan diri dengan kehidupan komunitas lain yang ada disekitarnya.
Dengan adanya integrasi antara pengetahuan yang didapatkan seseorang ketika ia menjadi seorang santri dan pengetahuan ketika seseorang tersebut menjadi mahasiswa yang hidup dikampus yang mana cara berpikirnya dapat dikatakan lebih terarah,merupakan suatu hal sangat berguna untuk mencetak manusia yang mampu menghadapi tantangan zaman melalui pembentukan attitude untuk menjadi pemimpin yang berintelektual, penguasaan teknologi dan bahasa asing dan yang terpenting adalah berpegang teguh pada akhlaqulkarimah.  

MENJADI GURU YANG DIRINDU

 menjadi guru adalah panggilan hati.  selengkapnya...... smamuhammadiyah1ngawi.sch.id