“Negosiasi Identitas Santri Berhadapan
dengan Realitas Kehidupan Mahasiswa dan Kampus”
(Pesantren Vs
Kampus)
Oleh : Imma yaumil fadlilah
Mahasiswi kimia angkatan 2010 UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
Berbagai aspek kehidupan saat ini,mendapatkan dampak
yang cukup signifikan akibat adanya arus globlalisasi yang semakin deras.
Institusi pendidikan sebagai institusi yang selalu berkembang seiring dengan
denyut nadi perkembangan zaman tampaknya tidak terlepas dari dampak globalisasi
ini. Pondok pesantren yang merupakan institusi pendidikan tertua di
Indonesiapun,juga dilanda oleh derasnya arus globlasisasi tersebut. Namun
demikian, pondok pesantren terus berupaya mengikuti dan mengimbangi irama dan
alur perkembangan globalisasi yang ada.
Santri.
Istilah yang sangat erat dengan kata sarung,kopyah,kitab kuning,setoran dan
istilah-istilah khas yang lainnya. Santri merupakan suatu unsure yang
sangat urgen dalam suatu institusi
pendidikan agama yang bernama pondok pesantren. Dunia Pondok pesantren,dalam kacamata
pandang beberapa orang,dikatakan sebagai suatu kawasan yang memiliki atmosfer ibarat penjara suci. Santri
selalu dituntut untuk menjadi insan yang memiliki budi pekerti yang baik dan
mempunyai rasa sosial yang tinggi. Pesantren yang selalu mengajarkan mengenai
ketawadhu’an sangat erat kaitannya dengan pendidikan moral bagi setiap
santrinya. Ketika seorang kyai menyuruh santri mengerjakan
sesuatu,tanpa berfikir panjang para santri yang mendapat dawuh atau perintah
tersebut, akan mengerjakan tugas yang diamanahkan. Santri tidak pernah terfikir
sama sekali mengenai imbalan. Hal inipun terkadang menjadikan munculnya rasa
heran terhadap beberapa orang yang melihatnya. Salah satu ciri yang mengakar
kuat dalam nuansa Pondok Pesantren adalah loyalitas yang tinggi terhadap
seorang ustadz atau ustadzah. Seberapa berat
dan pahitnya suatu perintah yang di ‘dawuh’kan oleh guru (ustadz/ah),maka
semaksimal mungkin santri diharuskan untuk melaksanakan dan mentaatinya.
Berbeda dengan dunia yang ada diluar pesantren seperti dunia kampus misalnya,merupakan
suatu hal yang mungkin bisa dianggap benar jika kita menolaknya dengan beberapa
alasan tertentu,akan tetapi adalah suatu hal yang sangat tidak dianggap benar
dan bahkan merupakan suatu larangan besar jika kita berusaha menolak apa yang
diperintahkan oleh guru(ustadz/ah) tersebut jika hal ini terjadi diduia pesantren.
Dunia pesantren masih sarat dengan istilah “Ngalap Braokahe Guru(mengharap
barokahnya guru)”,yaitu dengan selalu taat ,menjalankan segala macam bentuk
perintah yang dititahkan oleh tiap-tiap guru mereka. Bahkan suatu perkara yang
mungkin menurut anggapan beberapa orang tidak masuk akal atau bahkan tidak dibenarkan,tetap
harus berlaku perkara tersebut bagi santri jika perkara tersebut datangnya dari
sang guru. Dunia pesantren tidak pernah mengajarkan istilah pembantahan
terhadap guru. Yang
sangat mereka harapkan adalah
Keberkahan. Ketika teguran datang dari seorang ustadz maka satu kata pun
tidak akan berani dilontarkan dari mulut para santri. Kesalahan yang mereka
perbuatpun mereka renungi dan mereka sadari . Para santri mencoba untuk
mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini bukan semata-semata
absolutisme seorang ustadz atau kyai, tapi pendidikan yang yang mengajarkan
betapa pentingnya tanggung jawab dan keberanian menghadapi resiko dari suatu
perbuatan yang ditanamkan kepada para santrinya. Dunia
pesantren senantiasa menginginkan kedamaian bagi setiap penghuninya. Kehidupan pesantren juga mengajarkan
para santri untuk bertahan dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan. Tak
jarang pula kehidupan santri identik dengan bentuk pengajaran yang mengarah
kepada sikap kemandirian terhadap masing-masing individu santri. Tidak sedikit
dari para santri yang harus hidup diantara “kekurangan”. Namun,dengan
kekurangan-kekurangan yang sedang mereka alami justru tidak menjadikan santri
kemudian berputus asa dan merasa malas untuk melakukan kewajibannya mencari
ilmu di pesantren. Semangat untuk mencari ilmu tidak berkurang sama sekali.
Justru kondisi seperti itulah yang menjadikan mereka banyak yang melakukan
“tirakat”. Bagi perasaan mereka yang sedang ‘galau’ ketika dilanda kekeringan
kantong maka tirakat itulah yang dijadikan sebagai senjata andalan. Tanpa mengeluh
sedikitpun,mereka tetap dapat beraktivitas sebagaimana biasnya. Mereka sangat
percaya dengan apa yang dituturkan dalam kitab ta’limul muta’alim. Banyak
berfoya-foya dalam menuntut ilmu hanya akan membuat ilmu tidak barokah dan otak
tidak bisa berfikir. Mereka tetap bersabar dalam menuntut ilmu dalam kondisi
apapun. Bagi mereka,bukanlah suatu beban ketika dharuskan untuk bangun ketika
semua mata terlelap cantik dibawah naungan gelapnya malam. Meski mereka harus
menahan kelopak mata agar tetap terbuka disaat kantuk menghantui, tidak membuat
semangat mereka redup. Berbekal sebuah kitab yang menjadi pedoman bagi segenap
umat muslim (Al-Qur’an) ataupun kitab kuning yang bertuliskan arab tanpa
harokat dan bolpoin yang tidak mewah,mereka mulai beranjak dari tempat tidurnya
dan memulai perjalanannya untuk mengais ilmu yang Alloh berikan lewat
ulama-ulama terdahulu. Sebuah pemandangan yang indah dikala kita menyaksikan
saat itu.
Zaman budaya “trans-nasionl” yang sudah merajalela dinegeri ini
merupakan tantangan bagi para generasi bangsa Indonesia dalam menjaga dirinya
dari berbagai pengaruh perubahan dunia yang banyak bersebrangan dengan
nilai-nilai moral: agama, budaya dan social. Bahkan dengan bermunculanya
berbagai faham kebebasan, banyak dari kalangan mahasiswa yang hanyut
dalam dunia kebebasan tanpa batas, hingga mengakibatkan para generasi bangsa
terjerembab dalam perilaku amoral bahkan seks bebas, yang tanpa mereka sadari
itu justru akan membunuh mereka secara pelan-pelan.
Dunia kampus adalah dunia yang khas dengan aroma ketidak
puasan,yang sering mereka bilang “kita itu jadi orang harus kritis”.
Kata kritis merupakan kata yang perlu digaris bawahi. Menurut sebagian orang,kritis
merupakan suatu sifat atau cara berpikir yang wajib dimiliki oleh mahasiswa.
Mereka bilang jangan “pede” menyandang gelar mahasiswa jika bisanya
hanya “sendiko dawuh” saja kepada dosen ataupun atasaannya. Itu bukanlah
sikap yang dibenarkan didunia kampus,menurut kebanyakan penghuni tetapnya yaitu
mahasiswa. Jika suatu ketika dosen menginginkan kita harus masuk tepat waktu
dan tidak boleh terlambat,maka ketika dosen tersebut terlambat masuk kelas,adalah suatu tindakan yang tidak
dibenarkan jika kita hanya diam tanpa tindakan . kita harus berani menyampaikan
bahwa apa yang telah beliau lakukan merupakan tindak ketidakadilan. Hal ini bisa
menjadi suatu masalah besar kalau sudah dihadapakan dengan yang namanya
mahasiswa kritis. Dunia mahasiswa,dijadikan sebagai dunia yang menjadi titik
acuan bagi sebagian orang. Meraka yang menyandang sebagai “agent of change”
selalu merasa berkuasa atas segala sesuatu permasalahan yang ada. Meski
demikian,tidak jarang pula beberapa mahasiswa yang tidak memanfaatkan masa-masa
kejayaan mereka untuk memaksimalkan aksi dan kreasi mereka. Mereka justru
terjerumus kepada sikap hedonisme, yang itu justru tidak memberikan laba bagi
mereka namun justru hanya akan menyengsarakan mereka. Mereka yang berpikir
bakal hidup seribu tahun lagi,tidak pernah memikirkan kapan ia akan berada
dalam “Ground State” ataupun “exited State”. Yang ada dipikiran mereka hanyalah
hidup sekarang harus dinikmati. Masalah taubat belakangan,masih ada seribu
tahun lagi.
Berkaca dari dua hal tersebut ,merupakan suatu perkara yang sangat
jauh berbeda dengan apa yang terjadi didunia pesantren. Antara dunia pesantren
dan dunia kemahasiswaan (kampus). Dua dunia yang memiliki iklim yang berbeda. Lantas,,,,,,bagaimana
jika terjadi integrasi antara keduanya???
Pesantren hadir didunia kampus. Kehadiran tersebut dimulai dari
banyaknya kalangan santri yang mayoritas sudah mendapatkan izin dari para
kyainya untuk menambah wawasan khazanah pengetahuannya didunia kampus.
Ingtegrasi dimulai. Seiring perkembangan dunia yang semakin tak dapat dikendalikan,pesantrenpun
tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Pesantren yang mayoritas dulu
penghuninya hanya mengenal istilah kitab kuning,diba’,al-Barzanji
“wa-akhowatuha”,kini menginginkan suatu bentuk pembaharuan yang mana
pembaharuan tersebut diharapkan dapat mengantarkan para santrinya agar dapat
semaksimal mungkin mengekspresikan bentuk “hablun-minan-nas” dengan masyarakat
yang nantinya akan dihadapinya ketika mereka sudah tidak hidup didunia
pesantren lagi. Santri yang oleh mayoritas orang dikatakan ”kuper”,kini mulai
bertebaran didunia kampus. Tidak jarang pula justru mahasiswa yang mempunyai
latar belakang santri saat ini justru tidak memperdaam ilmu agamanya lagi
ketika mereka duduk didunia perkuliahan. Dengan berbekal ilmu agama yang kuat
yang mereka bawa dari pesantren,mereka harapkan dapat dijadikan sebagi pondasi
bagi prinsip hidupnya ketika harus berhadapan dengan dunia kampus yang sangat
kental dengan istilah radikal,liberal ataupun sejenisnya. Nuansa ketawadlu’an
yang masih hangat melekat pada diri santri,kadang justru dijadikan sebagai
bahan ejekan oleh mahasiswa lain yang tidak mempunyai latar belakang pesantren.
Mereka menganggap mahasiswa yang berasal dari pesantren tidak dapat dijak untuk
berpikir kritis. Mereka hanya bisa bilang “enggeh-mboten” ketika orang lain
menyuruh taupun menyampaikan sesuatu padanya. Mahasiswa yang berlatar belakang
santri kadang selalu menolak ajakan dari mahasiswa lain yang mengajak memasuki
sebuah organisasi misalnya,mereka menganggap hal itu hanya akan menjerumuskan
mereka kepada sikap dan cara hidup yang tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh
pendidikan pesantren yang pernah ia dapatkan.
Hal ini merupakan sesuatu hal dapat dimaklumi pada saat itu. Namun ternyata justru tidak untuk sekarang.
Hadirnya santri-santri cerdas didunia kampus,kini mulai memberikan nuansa yang
hangat dan khas bagi dunia kampus. Generasi
muda kita,yang berlatar belakang peantren kini mulai muncul dengan kesadaran
untuk berani menyampaikan aspirasi mereka,dengan seiring menimbang-nimbang sebab
akibat terhadap setiap apa yang akan di lakukan. Selain itu,tanpa mengurangi
identitasnya sebagai santri yang hidup didunia kampus,mereka mulai berani menyibukkan
diri untuk melakukan kegiatan social yang ada dilingkungan kampus seperti
keterlibatanya dalam sebuah organisasi: BEM maupun organisasi lainya yang ada
di kampus. Tak hanya itu, mereka juga dapat dikatakan selektif dalam mencari
teman bergaul. Meskipun demikian ciri khas santri yang sederhana tetap dapat
mereka pertahankan. Dengan kesibukan yang berbeda dengan mahasiswa lainnya,
merekapun sudah dapat berani mengambil sikap tegas,yaitu dengan menyatakan mana
sekiranya hal yang perlu dilakukan dan mana yang tidak. Tanpa mengurangi rasa
ketidak tawadlu’an,mereka sudah dapat berpikir kritis yang dimaknai sebagai
bentuk penyelarasan keadilan untuk dapat menghadapi dampak transformasi budaya
global yang alirannya semakin tidak bisa dibendung.
Dalam perjalanan menuju proses perkembangan dan
kesuksesan pendidikan nasional di Indonesia, Pendidikan pesantren mungkin dapat
dikatakan sebagai modal sosial dan bahkan soko
guru yang banyak memberikan kontribusi baginya. Pesantren
mempunyai manifestasi yang besar dikancah dunia baik social maupun kebudayaan.
Dunia pesantren adalah dunia yang mengajarkan kedamaian. Peranan pesantren
didunia politik modern saat ini,merupakan salah bentuk dinmika perkembangan
pesantren saat ini.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan penting moral keagamaan
sebagai perilaku sehari-hari.
Zaman
sekarang yang dapat dikatakan sebagai zaman modernpun ternyata masih banyak
terdapat pondok pesantren yang masih menggunakan kurikulum yang bersifat
tradisional. Sehingga untuk mengahadapi tantangan zaman yang semakin dan terus
berkembang, diperlukannya pembaharuan-pembaharuan yang dapat meningkatkan
kualitas SDM, baik secara imtaq maupun iptek nya.
Oleh karenanya,dengan hadirnya para santri didunia
kampus diharapkan akan terbentuk kampus yang memiliki nafas islami yang kuat.
Dan nantinya para alumni/sarjana ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu yang
telah diperolehnya untuk memajukan pesantren asal mereka.
Pondok pesantren merupakan komunitas yang memiliki
sifat kesederhanaan, sehingga prinsip kesederhanaan tersebut diharapakan dapat
menyelaraskan diri dengan kehidupan komunitas lain yang ada disekitarnya.
Dengan adanya integrasi antara pengetahuan yang
didapatkan seseorang ketika ia menjadi seorang santri dan pengetahuan ketika
seseorang tersebut menjadi mahasiswa yang hidup dikampus yang mana cara
berpikirnya dapat dikatakan lebih terarah,merupakan suatu hal sangat berguna
untuk mencetak manusia yang mampu menghadapi tantangan zaman melalui
pembentukan attitude untuk menjadi pemimpin yang berintelektual,
penguasaan teknologi dan bahasa asing dan yang terpenting adalah berpegang
teguh pada akhlaqulkarimah.