Kamis, 01 Agustus 2013

“MADU KESETIAANMU”





Kehampaan semakin terasa setelah  terhitung  genap satu minggu dia meninggalkanku. Dia sudah tak bisa kupandang sekehendak hatiku sebagaimana dihari-hari sebelumnya. Dia telah jauh dari pelupuk mata. Takdir telah memisahkan kita. Dia, orang yang sering aku panggil lelaki berasap (karena dia sering merokok) telah pergi meninggalkanku. Dia pergi meninggalkanku karena tuntutan ilmu dan sebagai bukti ketawadhu’annya pada guru.

“Fada, besok pagi saya harus pergi, saya harus ke Mesir sebagaimana permintaan Abah Yai. Saya harus pergi meninggalkanmu, dan pergi ke Mesir bersama neng Zizah. Kamu yang rajin belajar ya, biar suatu saat kamu juga bisa kesana” Kalimat-kalimat itulah yang masih terngiang ditelinga dan pikiranku sampai saat ini. Sampai saat aku tak bisa lagi sesuka hati mendengar bagaimana aktivitasnya hari ini, apakah menyenangkan atau justru sebaliknya. Sampai saat aku tak bisa lagi mendengarkan cerita tentang keluh kesahnya menghafalkan kitab Alfiyah dalam seharian. Dan ternyata waktu satu minggu tanpanya, rasanya hampa jalan kehidupanku saat ini.

Perkenalanku dengannya dimulai saat kita sama-sama duduk dikelas Advance di kelas tambahan bahasa Inggris yang sering kita ikuti setiap malam. Sejak saat itulah kami sama-sama memiliki rasa untuk lebih saling mengenal. Tak akan ada pondok pesantren yang mengizinkan santrinya berpacaran. Begitu pula dengan pondokku. Meskipun ada antara santriwan dan santriwati yang saling memiliki rasa, namun tidak akan pernah ada ruhshoh bagi keduanya untuk bisa saling bertemu secara terang-terangan. Begitu pula dengan kisahku dan dia. Akan tetapi kami berdua bukanlah golongan orang yang kemudian hanya sendiko dawuh saja pada pengurus-pengurus kita.

Dia adalah kakak kelasku yang pandai dalam berbagai bidang dan sangat terkenal dipondokku. Dia mempunyai sejuta cara agar bisa bertemu denganku. Dan dialah yang mengajariku bagaimana caranya agar hubunganku dengannya tetap lancar tanpa harus ada gangguan dan hukuman dari para pengurus. Rasa sayangkupun semakin lama seolah semakin tumbuh subur. Dan ternyata begitu pula sebaliknya dengan apa yang dia rasakan. Kami sering belajar bersama tanpa harus ada yang mencurigai bahwa kami sebenarnya memang saling suka dan saling memiliki rasa. Dan sampai suatu ketika aku harus berpisah jauh dengannya.

Seiring dengan berjalannya waktu yang semakin hari kian bertambah, suatu ketika hatiku tiba-tiba bergetar begitu hebat saat mendengar kasak kusuk dari orang-orang disekelilingku yang mengatakan bahwa lelaki berasapku ternyata akan dijodohkan dengan neng Zizah putri Abah Yaiku yang saat ini sedang menuntut ilmu bersamanya. Dan kekhawatiran hatikupun semakin bertambah ketika beberapa bulan lamanya aku tak pernah mendengar kabar darinya. Hatiku rasanya tersayat dan ingin menangis sekeras-kerasnya. Namun apa daya, ini tak akan menjadikannya seolah-olah bak pangeran yang tiba-tiba datang menjemputku menuju istananya. Aku hanya bisa berharap dan berharap, agar dia menolak perjodohan itu dan tetap memilihku menjadi bidadarinya. Hari-harikupun kulalui dengan senyuman yang terasa sulit kukembangkan.

Aku merasakan pagi ini berbeda dengan hari-hari biasanya. Mataku yang semula sayu menjadi bak mata bidadari yang tiba-tiba terbelalak begitu lebar. Aku melihat sosok lelaki berasapku duduk ditempat diamana aku dan dia biasa belajar bersama. Dia datang untukku. Dia tetap setia pada bidadarinya. Dia tak mengkhianati cintaku. Dan ternyata dia tetap memilih setia kepadaku dan menolak perjodohan itu. Dan kini aku merasakan betapa manisnya madu kesetiaanya padaku.

















MENJADI GURU YANG DIRINDU

 menjadi guru adalah panggilan hati.  selengkapnya...... smamuhammadiyah1ngawi.sch.id