Kehampaan
semakin terasa setelah terhitung genap satu minggu dia meninggalkanku. Dia
sudah tak bisa kupandang sekehendak hatiku sebagaimana dihari-hari sebelumnya.
Dia telah jauh dari pelupuk mata. Takdir telah memisahkan kita. Dia, orang yang
sering aku panggil lelaki berasap (karena dia sering merokok) telah pergi
meninggalkanku. Dia pergi meninggalkanku karena tuntutan ilmu dan sebagai bukti
ketawadhu’annya pada guru.
“Fada,
besok pagi saya harus pergi, saya harus ke Mesir sebagaimana permintaan Abah
Yai. Saya harus pergi meninggalkanmu, dan pergi ke Mesir bersama neng Zizah.
Kamu yang rajin belajar ya, biar suatu saat kamu juga bisa kesana” Kalimat-kalimat
itulah yang masih terngiang ditelinga dan pikiranku sampai saat ini. Sampai
saat aku tak bisa lagi sesuka hati mendengar bagaimana aktivitasnya hari ini, apakah
menyenangkan atau justru sebaliknya. Sampai saat aku tak bisa lagi mendengarkan
cerita tentang keluh kesahnya menghafalkan kitab Alfiyah dalam seharian. Dan
ternyata waktu satu minggu tanpanya, rasanya hampa jalan kehidupanku saat ini.
Perkenalanku
dengannya dimulai saat kita sama-sama duduk dikelas Advance di kelas tambahan bahasa Inggris yang sering kita ikuti
setiap malam. Sejak saat itulah kami sama-sama memiliki rasa untuk lebih saling
mengenal. Tak akan ada pondok pesantren yang mengizinkan santrinya berpacaran.
Begitu pula dengan pondokku. Meskipun ada antara santriwan dan santriwati yang saling
memiliki rasa, namun tidak akan pernah ada ruhshoh
bagi keduanya untuk bisa saling bertemu secara terang-terangan. Begitu pula
dengan kisahku dan dia. Akan tetapi kami berdua bukanlah golongan orang yang
kemudian hanya sendiko dawuh saja
pada pengurus-pengurus kita.
Dia
adalah kakak kelasku yang pandai dalam berbagai bidang dan sangat terkenal dipondokku.
Dia mempunyai sejuta cara agar bisa bertemu denganku. Dan dialah yang
mengajariku bagaimana caranya agar hubunganku dengannya tetap lancar tanpa
harus ada gangguan dan hukuman dari para pengurus. Rasa sayangkupun semakin
lama seolah semakin tumbuh subur. Dan ternyata begitu pula sebaliknya dengan
apa yang dia rasakan. Kami sering belajar bersama tanpa harus ada yang
mencurigai bahwa kami sebenarnya memang saling suka dan saling memiliki rasa.
Dan sampai suatu ketika aku harus berpisah jauh dengannya.
Seiring
dengan berjalannya waktu yang semakin hari kian bertambah, suatu ketika hatiku
tiba-tiba bergetar begitu hebat saat mendengar kasak kusuk dari orang-orang
disekelilingku yang mengatakan bahwa lelaki berasapku ternyata akan dijodohkan dengan neng Zizah putri Abah Yaiku
yang saat ini sedang menuntut ilmu bersamanya. Dan kekhawatiran hatikupun
semakin bertambah ketika beberapa bulan lamanya aku tak pernah mendengar kabar
darinya. Hatiku rasanya tersayat dan ingin menangis sekeras-kerasnya. Namun apa
daya, ini tak akan menjadikannya seolah-olah bak pangeran yang tiba-tiba datang
menjemputku menuju istananya. Aku hanya bisa berharap dan berharap, agar dia
menolak perjodohan itu dan tetap memilihku menjadi bidadarinya. Hari-harikupun kulalui
dengan senyuman yang terasa sulit kukembangkan.
Aku
merasakan pagi ini berbeda dengan hari-hari biasanya. Mataku yang semula sayu
menjadi bak mata bidadari yang tiba-tiba terbelalak begitu lebar. Aku melihat
sosok lelaki berasapku duduk ditempat diamana aku dan dia biasa belajar
bersama. Dia datang untukku. Dia tetap setia pada bidadarinya. Dia tak
mengkhianati cintaku. Dan ternyata dia tetap memilih setia kepadaku dan menolak
perjodohan itu. Dan kini aku merasakan betapa manisnya madu kesetiaanya padaku.